24 Juni 2011

Bapakku Pekerja Keras! Liku Jalan Hidupnya

#Penulis: Daddy


"Kamu harus sekolah yang tinggi yah, supaya nanti jadi orang pintar. Kakek berdosa sama bapak kamu, dulu kakek melarangnya sekolah,..". Kata terakhir almarhum kakek untuk saya sebelum tidak lebih dari sepuluh menit kemudian beliau meninggal. Saya yang saat itu masih kecil dan belum pun tau apa itu sekolah hanya mengangguk saja, dan kemudian menangis ketika pak ustad imam masjid yang juga seorang teman kakek mengucap "innalillahi wa inna ilaihi rooji'un".

---

Saya pergi dengan uang seadanya untuk bekal hidup di kostan di daerah Bandung tempat saya kuliah. uang pas-pasan yang berasal dari keringat orang tua yang mengerahkan semua daya upaya untuk membiayai saya kuliah. uang dari bapak yang waktu itu mulai buka warung kecil-kecilan, usaha barunya yang operasional jaganya dia serangkan ke ibu. pagi hari dia pergi ke kebun timun dan kacang panjang untuk mengurusi tanaman-tanaman di sana, dan siangnya dia pergi ke kota, keliling-keliling untuk cari dagangan yang harga belinya lebih murah yang akan dia jajakkan di warung nya. pekerjaan bapak itu sering dibantu oleh adik saya dengan berbelanja atau memanen hasil berkebun. hampir semua hasil dari berkebun, bapak kirim ke saya. Hingga satu saat adik saya yang masih sekolah, mengatakan bahwa dia tidak akan mau kuliah. dia sungguh merasa prihatin dengan kondisi serba kekurangan keluarga kami, dan merasa monzolimi orang tua dengan pergi kuliah.

Saya juga sesungguhanya tidak merasa tega untuk pergi kuliah dan membebankan semuanya pada orang tua saya. Pilihan bapak yang membuat saya tidak merasa mendurhakainya. Pilihan yang saya sodorkan ke bapak saat saya mendapat tawaran untuk kerja dari dua perusahaan sekaligus dan tawaran kuliah masuk jalur PMDK dari salah satu PTN saat saya menyelesaikan Sekolah Teknologi Menengah yang lumayan ternama kala itu. Meski dengan rasa bimbang akan kemanpuannya membiayai kuliah, bapak dengan tegas memilih untuk saya pergi kuliah. "Bismillah, mudah-mudahan ada rezekinya" begitu katanya.


Seiring waktu berjalan, roda kehidupan itu memang berputar, dan kehidupan keluarga kami menjadi lebih baik. Warung kecil yang dulu hanya merupakan sampingan, kini telah menjadi toko bagi warung-warung kecil di desa kami. bahkan tak jarang pelanggan yang datang dari desa tetangga berbelanja di toko bapak. barang dagangan tidak lagi harus dicari, sales-sales dari pabrik makanan, kosmetik, dan lain-lain datang sendiri menitipkan barang untuk dijual. Bapak sendiri jadi kelihatan lebih putih dan tingkat tempramentalnya berkurang. kelihatan sekali perubahan itu terutama setelah pulang dari tanah suci. Beban hidupnya kini jauh lebih ringan dari sebelumnya.



---

Bapak saya memang terlahir dari keluarga yang tergolong serba kekurangan. Tak ada harta waris yang diberikan kakek padanya. Meski demikian, di sekolah bapak tergolong murid berprestasi. tidak heran saat setelah dia lulus SR dia mendapat tawaran untuk disekolahkan di madrasah tsanawiah dari salah satu gurunya. Sungguh sayang, tawaran yang sangat menggiurkan baginya tersebut kandas oleh larangan kakek. Entah karena kakek tidak mau berhutang budi pada orang lain atau ada alasan yang lain, yang jelas kakek hanya beralasan tidak ada yang membantunya bekerja di sawah dan mencari rumput untuk pakan kambing. bapak saya pun lalu menjadi pekerja buruh tani di saat umurnya masih tergolong sangat muda. disela-sela waktu mainnya, dia bekerja di sawah. mencangkul, membajak, membersihakan gulma, hingga memanen sawah milik orang lain. dia juga mencari rumput untuk pakan kambing dan kerbau pembajak yang juga milik orang lain. nasib seperti bapak kala itu, meski tidak dialaminya seorang sendiri, membuatnya merasa rendah diri. dia sungguh merasa iri pada teman-temannya yang bisa menuntut ilmu di bangku-bangku sekolah tingkat pertama ataupun di pesantren-pesantren.

Nasib sebagai buruh tani dia lakoni hingga dia menikah. Bapak menikahi Ibu pada usia awal dua puluhan dan ibu kala itu masih berumur belasan. pernikahan usia dini kemudian membawa banyak tantangan hidup pada keluarga mereka, dan masalah ekonomi adalah tantangan terberat. saat menjadi buruh tani, adalah babak paling keras dalam hidupnya. Suatu saat dia menjadi kuli pikul pada satu perusahaan penggilingan padi di desa saya, dia pernah terjatuh dari atas truk pengangkut padi. Jalanan di daerah pesawahan yang berlubang menjadi penyebab utama kecelakaan tersebut. beruntung dia tidak mengalami cidera serius, meski tubuhnya yang sudah jatuh ke tanah kemudian tertimpa sekarung gabah yang jatuh menyusul tubuhnya dari atas truk naas itu.

Berniat untuk merubah hidup, Bapak saya pernah menjajaki mencoba beralih profesi menjadi seorang pedagang bakso. namun profesi baru ini bisa dikatakan gagal total. uang modal yang telah dikumpulkannya bertahun-tahun dari menjadi kuli tani pun habis sudah. ceritanya, pada satu malam hajatan seorang tetangga, bapak menjajakkan bakso dari sore hari. sungguh sial, hingga pagi hari tak satu mangkok pun bapak melayani pembeli. Dia pulang dengan tak sepeser pun uang didapatnya. Itulah sebabnya, hingga saat ini, tiap kali saya melihat tukang bakso sepi pembeli di satu hajatan, saya hampir pasti selalu membelinya. meski baksonya saya tidak terlalu minat dan uang di kantong lagi pas-pasan.

Dari kegagalan menjadi pedagang bakso, bapak kemudian mencoba belajar dari seorang teman untuk menjadi tukang bangunan. Syukurlah, bapak ternyata berbakat untuk menjadi tukang bangunan. namun ternyata, profesi ini pun lagi-lagi tidak lebih baik dari menjadi buruh tani. butuh tenaga yang berat, kehati-hatian, dan stamina yang ekstra. bagaimana tidak, ketika dia dapat proyek untuk membuat rumah di daerah yang jauhnya tidak kurang dari 60 km, dia lakoni dengan pulang pergi mengayuh sepeda. bangun sebelum adzan shubuh dan berangkat jam lima pagi, mengayuh sepeda dua jam untuk sampai di lokasi pekerjaan. pulang jam lima sore, dan mengayuh sepeda lagi untuk kembali ke rumah. karena kelelahan kerja seharian, kadang jam delapan malam bapak baru sampai rumah. sesekali memang dia menginap di lokasi kerjanya, tidur beralaskan tumpukan semen dan beratapkan terpal. Seorang teman pernah mengajaknya untuk mengerjakan proyek pembangunan satu komplek perumahan di jakarta. Namun karena pertimbangan tidak mau terpisah dari istri dan dua orang anaknya kala itu, dia tolak tawaran temannya itu. walhasil dia tetap jadi buruh harian pegawai bangunan di lingkungan sekitar rumah kami saja.

Dalam kesulitan ekonomi yang menghimpit, bapak memang mempunyai tekad yang bulat untuk menyekolahkan anak-anaknya. Demi membiayai sekolah kami, seringkali sekeluarga harus makan dengan hanya goreng bawang campur garam dan sebutir telur goreng yang dibagi empat. tidak jarang kami harus menunggak pembayaran sekolah, karena memang bapak tidak punya uang. Tekadnya begitu kuat, tak satupun megoyahkan niatnya itu. bahkan ketika seorang tetangga yang terhitung lebih mampu dan lebih dihormati di lingkungan kampung saya mengatakan: "sekolah tinggi bukan jaminan seseorang akan lebih maju dalam hidupnya kelak. percuma saja capek-capek banting tulang menyekolahkan anak-anak, toh satu saat mereka juga akan pergi dan punya jalan hidupnya masing-masing". bapak menjawab nya dengan sangat bijak, "saya hanya menunaikan kewajiban memberikan pendidikan buat anak-anak saya". Demikianlah, anak pertama selesai SMEA dan kedua lainnya berhasil menyelesaikan studi hingga S1.

---

Tulisan ini dibuat sebagai penghargaan dan terima kasih buat Bapak yang saya hormati, sebagai bahan pelajaran dan teladan khususnya buat saya. pengingat untuk terus berjuang menjadi bapak yang terbaik untuk anak-anak saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar